“Kemarin lusa bom meledak lagi di hotel J. W. Mariott Jakarta”, kata Rudi saat memasuki warung Bu Imay, “Kopi pahit Bu”, sambungnya sambil menyambar pisang goreng yang masih hangat-hangatnya. Bu Imay tergopoh-gopoh membuat kopi, karena sedang sibuk menggoreng pisang.
Hasan tukang jual bakso keliling dan Yadi bandar togel perempatan pasar Waru yang telah nongkrong lebih dulu manggut-manggut sambil menyeruput kopi panasnya.
“Sebelumnya bom meledak di Mega Mall Kuningan dan barusan kudengar ada bom rakitan yang meledak lagi dan menewaskan orang yang diduga merakitnya”, tambah Rudi dengan memasukkan sisa potongan pisang gorengnya ke mulutnya yang setengah penuh.
“Betul”, Hasan menimpali, “Akhir-akhir ini banyak bom yang meledak di negara kita ini. Di Jakarta saja sudah berapa kali, terus di Bali yang memakan hampir dua ratus korban meninggal yang kebanyakan orang bule itu. Peristiwa yang menggegerkan dunia, sampai-sampai negara lain seperti Amerika dan Australia kebakaran jenggot. Lalu mereka men-cap negara kita sebagai sarang teroris. Untuk makan saja susah, kok bisa-bisanya kita dituduh sebagai teroris.”
“Ah, kalian ini pusing-pusing amat mikirin negara dan teroris, kita bisa menikmati secangkir kopi dan sepotong pisang goreng begini saja sudah tenang”, kata Yadi.
“Lho sampeyan ini bagaimana!”, Hasan sewot, “Apa sampeyan ndak takut atau kuatir kalo sewaktu-waktu sampeyan kebledosan bom. Waktu di mall misalnya, atau waktu nginep di hotel, atau waktu sampeyan sedang mbandari togel di pasar Waru. Nah, kan kita yang ndak tahu apa-apa juga yang ketiwasan”. Hasan bersungut-sungut sambil mencomot tahu goreng dan langsung menggigitnya.
“Ya itu namanya lagi apes. Kalo sampe mati, ya itu sudah takdir. Kita nggak usah pusing mikiran apa yang belum tentu terjadi. Mending mikirin bagaimana nanti pulang bawa duit agar istri kita nggak melempari kita dengan bom makian”, Yadi membela diri lalu ketawa. “Betul nggak mas Rudi?”
Rudi yang ditanya diam saja. Termenung.
“Oalah… diajak ngomong malah ngalamun!”, Yadi sedikit kesal. Mereka ikutan diam.
“Betul juga”, kata Rudi tiba-tiba.
“Apanya yang betul toh !”, sahut Hasan keki, “Sampeyan ini kaya ndak punya pendirian saja!”.
“Iya”, Rudi menimpali, “Kalo emang ndilalah kita yang kena bom, ya itu namanya apes atau emang sudah suratan takdir. Kalo dipikir-pikir, kalo ada bom yang meledak bukankah itu kejadian biasa saja. Seperti kalo kita mendengar berita perampokan, atau kebanjiran. Bahkan sebiasa kalo kita mendengar orang kentut. Bukankah kita juga menyebut kentut dengan bom. Kan sudah biasa kalo orang ngebom atau kentut”, kata Rudi kemudian.
Hasan dan Yadi diam dan memandangnya keheranan. Tak mengerti apa yang diomongin Rudi.
Rudi semakin bersemangat, karena mengira mereka menyimak dan mengerti apa yang barusan dikatakannya, “Orang-orang semacam Amrozi itu tidak adil kalo harus dihukum mati hanya gara-gara meledakkan bom di

Tidak ada komentar:
Posting Komentar