dua puisi dalam buletin Jejak Forum Sastra Bekasi Juli 2014




  •  membaca mata
  • perempuan pemecah batu







membaca mata
: achmad soenardji

aku adalah huruf-huruf berjatuhan
dari mata seorang lelaki tua, mulai sering terkantuk-kantuk,
saat sebuah suara menyeru “bacalah!”.
lalu aku rela menjelma apa saja
agar mata tua yang bijak itu bisa mengeja:
tuhan, kenangan, perjuangan, keikhlasan
waktu, semesta, cinta bahkan dirinya.
terkadang aku berkata lembut “cukup”
saat mata lelah itu terlalu bersemangat dan lupa batas
kadang aku harus berteriak keras
saat mata malasnya mulai bilang “cukup!”
sedangkan memaknai sesuatu tak pernah kenal batas.

beberapa waktu lalu sebuah tanda seru
mendatangi mimpinya
mengatakan bahwa suatu hari
sebuah titik akan menjemput.
keesokan hari mata tua itu membaca
dan terus membaca
namun hanya satu tanda saja: tanya.
berulang kali aku peringatkan
karena ia mulai lelah, sering salah
mudah lupa, bahkan tiba-tiba terlelap
namun ia terus berusaha mencari jawab
dari beribu-ribu tanda
tak henti berloncatan di pelupuknya.

di ruang putih ini, aku duduk
sebelah mata tua yang terus terpejam
dan tak henti meneteskan tanda: koma.
“pejamlah, aku akan membacakan cerita untukmu”
bisikku di telinganya, aku yakin
dia pasti masih bisa mendengarkanku
dari suatu tempat.
aku pun terus membaca apa saja
namun saat sampai pada cerita kelahiran dan harapanku
aku menangis.
dalam tangis aku bisa lihat
bahwa mata tua itu telah benar-benar lelah
tanpa sadar aku terus memaksanya membaca
dengan terus membaca untuknya
saatnya harus mengikhlaskannya.
dan saat aku berhenti
air mataku mengalir menjelma, sebuah tanda
menjemputnya: titik.

karawang110214




perempuan pemecah batu

saat kau lintasi jalan-jalan dalam sajakku
kau akan temui perempuan duduk terbungkuk di halaman
bawah tenda kecil tempat berlindung dari lirikan mata hari
perempuan-perempuan yang sepanjang hari
memecah bongkah-bongkah:
batu dari lereng-lereng sajakku,
batu yang dipanggul bahu-bahu kekar para lelaki,
batu yang mengalir sepanjang sungai dalam mata anak-anak,
batu yang selalu bercokol di kepalamu
dan dalam dada orang-orang di kotamu,
bahkan batu yang menyihir kotamu menjadi batu

dengarlah, suara dari mulut-mulut palu itu
menjadi instrumen paling merdu
lirik yang saling bertegur sapa
menanyakan kabar tentang suami dan anak-anak mereka
tiap nada menjadi cengkrama paling mesra
karena tak ada gosip atau obrolan tak perlu
seperti kau temui dalam televisi atau
saat ibu-ibu menanti tukang sayur di perempatan jalan kotamu
suara yang mengunyah bongkah batu menjadi
kerikil untuk dibawa ke sawah ladang
agar para lelaki bisa menanam cabe dan palawija di sepanjang
punggung sajakku

dan saat malam tiba
para perempuan itu memeras air mata
dari setiap doa panjang mereka
air mata yang dikumpulkan untuk mengairi tanaman,
memberi minum ternak, bahkan memandikan anak-anak
karena musim telah jauh meninggalkan mereka
dalam kerasnya hidup dan kerja

lihatlah, perempuan-perempuan
yang wajahnya selalu berpupur debu
tak lelah memecah sajakku
agar tidak membatu

karawang210214


Tidak ada komentar:

Posting Komentar